Pertambangan

Pertambangan Ramah Lingkungan: Mewujudkan Tanggung Jawab Ekologi dalam Sektor Energi

Pertambangan Ramah Lingkungan: Mewujudkan Tanggung Jawab Ekologi dalam Sektor Energi
Pertambangan Ramah Lingkungan: Mewujudkan Tanggung Jawab Ekologi dalam Sektor Energi

JAKARTA - Bagi banyak orang, konsep pertambangan ramah lingkungan mungkin masih terdengar seperti sebuah utopia. Namun, dengan semakin meningkatnya kesadaran akan pentingnya keberlanjutan dan perlindungan lingkungan, sektor pertambangan kini semakin diarahkan untuk meminimalkan dampak ekologisnya. Tentu saja, sepenuhnya menghindari kerusakan lingkungan dalam pertambangan adalah hal yang sangat sulit, tetapi upaya mitigasi dampak negatif dan reklamasi lahan pasca-tambang kini menjadi keharusan yang tak bisa ditunda.

Sektor pertambangan, meskipun kontroversial karena dampaknya terhadap lingkungan, tetap memainkan peran krusial dalam perekonomian Indonesia. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa sektor ini merupakan salah satu penyumbang terbesar terhadap perekonomian nasional, setelah industri pengolahan, perdagangan, pertanian, dan konstruksi. Pada tahun yang sama, sektor pertambangan dan pengolahan tercatat mengalami peningkatan investasi yang signifikan, dengan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sektor minerba mencapai Rp 269,6 triliun, atau 115 persen dari target 2024.

Namun, kontribusi sektor ini terhadap perekonomian tidak dapat dipisahkan dari dampaknya terhadap lingkungan. Di wilayah Kalimantan Timur (Kaltim), yang memiliki 38 persen cadangan batubara nasional, aktivitas pertambangan telah menimbulkan ancaman terhadap biodiversitas dan kualitas ekosistem. "Kalimantan Timur telah memproduksi 339 juta ton batubara pada 2023, dan hingga Januari 2025 terdapat 310 konsesi pertambangan di wilayah ini," ujar Pius Ginting, Koordinator Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER). "29 persen tutupan hutan di Kaltim telah terbebani konsesi tambang, dengan 55.561 hektar hutan primer termasuk dalam kawasan yang terdampak."

Dampak Lingkungan yang Kian Mendesak

Kekhawatiran terhadap kerusakan lingkungan akibat pertambangan bukan hanya dirasakan oleh masyarakat sekitar, tetapi juga oleh aktivis lingkungan dan pemerintah. Di wilayah Torobulu, Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara, misalnya, keberadaan mata air yang dikelilingi area pertambangan PT Wijaya Inti Nusantara (WIN) semakin terancam. Kerusakan sumber daya alam seperti ini mendorong perlunya langkah-langkah nyata untuk mengelola dampak pertambangan, termasuk penghijauan dan reklamasi.

Direktur Jenderal Planologi Kehutanan Kementerian Kehutanan, Ade Tri Ajikusuma, menegaskan pentingnya pengelolaan kawasan hutan yang terdampak pertambangan. "Kami terus menjaga kawasan hutan yang memiliki fungsi konservasi dan memastikan bahwa tidak ada kawasan konservasi yang dibebani izin pertambangan," ujarnya dalam diskusi publik yang diadakan pada April 2025. Ade juga menjelaskan bahwa perusahaan yang memegang izin pertambangan (PPKH) wajib melaksanakan reklamasi lahan yang sudah tidak digunakan, bahkan sebelum masa izin berakhir.

Mengapa Pertambangan Ramah Lingkungan Itu Mungkin?

Pertambangan ramah lingkungan bukanlah sebuah mimpi kosong. Secara teori, hal ini sangat mungkin diwujudkan melalui pengelolaan yang bertanggung jawab terhadap ekosistem, baik selama proses penambangan maupun pasca-tambang. Gita Mahyarani, Pelaksana Tugas Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI), menjelaskan bahwa pengurangan emisi, rehabilitasi lahan, dan pengelolaan limbah yang lebih baik adalah beberapa langkah yang dapat diambil perusahaan tambang untuk mendukung keberlanjutan lingkungan. "Upaya pengurangan emisi terus dilakukan dengan cara-cara yang terukur. Walaupun penggunaan teknologi seperti carbon capture storage (CCS) masih mahal, ini tidak berarti tidak ada upaya untuk menjaga kelestarian lingkungan," jelas Gita.

Capaian rehabilitasi lahan oleh perusahaan tambang Indonesia tercatat mencapai 26.538 hektar, lebih dari tiga kali lipat dari target reklamasi tahunan yang ditetapkan pemerintah sebesar 7.100 hektar. Pada 2025, target reklamasi diperkirakan mencapai 7.135 hektar. Gita menambahkan bahwa perusahaan tambang juga diwajibkan untuk menyetorkan dana reklamasi sebagai jaminan, guna memastikan lahan bekas tambang dapat direhabilitasi dengan baik.

Hambatan dan Tantangan dalam Wujudkan Pertambangan Ramah Lingkungan

Meskipun ada berbagai upaya yang dilakukan, tantangan besar tetap ada. Fluktuasi harga komoditas global, ketergantungan ekspor bahan mentah, serta kurangnya pengawasan di lapangan sering kali menjadi faktor yang memperburuk kondisi lingkungan. Stevanus Nalendra Jati, Dosen Manajemen Eksplorasi dan Eksplorasi Batubara Universitas Sriwijaya, Palembang, mengungkapkan bahwa salah satu penyebab kerusakan lingkungan adalah ambisi perusahaan untuk mengejar target produksi dengan memperluas lahan tambang tanpa memperhatikan dampak ekologisnya.

"Tantangan terbesar adalah fluktuasi harga global yang mendorong perusahaan untuk cepat beroperasi dan mengeksplorasi lahan tanpa memperhatikan dampaknya pada lingkungan. Selain itu, pengawasan yang lemah sering kali membuat perusahaan mengabaikan tanggung jawab mereka terhadap rehabilitasi pasca-tambang," ungkap Nalendra.

Namun, meskipun sektor pertambangan terus menghadapi tantangan, ada harapan untuk masa depan yang lebih hijau. Negara-negara seperti Australia dan Kanada, yang dikenal dengan teknologi pertambangan ramah lingkungan mereka, dapat dijadikan contoh. "Mereka telah berhasil mengimplementasikan teknologi canggih, bahkan banyak yang otomatis, yang membuat pertambangan mereka lebih ramah lingkungan," kata Nalendra, seraya menambahkan bahwa Indonesia perlu lebih banyak berinvestasi dalam teknologi bersih dan hilirisasi sumber daya alam untuk meminimalkan kerusakan lingkungan.

Menjaga Komitmen untuk Keberlanjutan

Untuk mewujudkan pertambangan ramah lingkungan, diperlukan kerjasama antara pemerintah, perusahaan tambang, dan masyarakat. Pemerintah harus memperkuat penegakan hukum lingkungan, mengimplementasikan standar ESG (Environmental, Social, and Governance) yang ketat, serta mendorong transparansi dan akuntabilitas perusahaan tambang. Dengan langkah-langkah ini, diharapkan sektor pertambangan Indonesia dapat memberikan manfaat ekonomi yang besar tanpa merusak alam yang menjadi sumber daya vital bagi generasi mendatang.

Seperti yang disimpulkan oleh Stevanus Nalendra, "Pertambangan ramah lingkungan memang bukan hal yang mudah, tetapi itu adalah tanggung jawab kita semua untuk memastikan keberlanjutan alam dan ekonomi masa depan."

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index